Total Tayangan Halaman

Rabu, 30 Januari 2013

Tantangan ASI Eksklusif


Secara alami setiap ibu di anugerahi kemampuan untuk menyusui , selama kehamilan tubuh mulai menyiapkan produksi ASI yang nantinya dipergunakan ibu untuk menyusui bayinya. Walau terkadang ada beberapa ibu yang menolak menyusui dengan alasan-alasannya sendiri. Namun bila sejak awal ibu sudah mempersiapkan diri untuk memberikan ASI kepada bayinya maka niat tersebut akan sangat membantu dalam menyusui. Sebagai ibu yang baru pertama kali menyusui saya punya banyak pengalaman dan tantangan ketika berusaha memberikan asi secara eksklusif  diantaranya yaitu lingkungan, terutama anggota keluarga dalam hal ini antara orang tua bayi dan nenek.Perbedaan pengalaman dan cara berpikir bisa menjadi hambatan dalam memberikan ASI ekslusif  contohnya budaya orang tua memberikan makanan kepada bayi selain ASI di usia 0 bulan.orang tua menganggap jika bayi yang sering menangis berarti lapar dan perlu diberikan makanan tambahan selain ASI padahal selama enam bulan pertama bayi tidak perlu mendapatkan makanan dan minuman apa pun selain ASI. Dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa ternyata ASI sudah bisa mengenyangkan dan memenuhi nutrisi bayi. Kedua  ASI tidak keluar atau hanya sedikit yang keluar ,Ibu paska bersalin biasanya hanya mengeluarkan kolostrum (cairan bening kekuningan) dan sebagian kecil produksi air susu. Namun jumlahnya sedikit sekali, sehingga muncul rasa kecewa karena anggapan ASInya tidak keluar, tidak lancar, dan hanya sedikit keluarnya. Sebagai tambahan informasi, lambung bayi baru lahir berukuran kira-kira 5-7 milimeter, kira-kira hanya sebesar butiran kelereng. Untuk memenuhi lambung tersebut hanya dibutuhkan ASI sebanyak 1 sampai 1,5 sendok teh. Jadi jangan kecewa  cairan kolostrum yang diproduksi pada hari pertama paska kelahiran tersebut sudah memenuhi kebutuhan bayi. Yang ketiga puting lecet dan berdarah, Awal-awal menyusu merupakan proses adaptasi baik pada ibu maupun bayi. Bahkan untuk pertama kalinya terjadi  lecet puting dan mengeluarkan darah saat menyusui. Rasa perihnya pun terasa menyayat-nyayat hingga rasanya enggan menyusukan bayi . Namun sebenarnya hal tersebut bisa dihindari bila mengetahui teknik menyusui yang benar (teknik yang benar saat menyusui adalah posisi areola atau bagian yang hitam masuk kedalam mulut bayi dan ini menghindari lecet di puting). Namun apabila sudah terlanjur, tetap lanjutkan untuk memberikan ASI dan setiap selesai memberikan ASI anda bisa merawat luka di puting dengan mengoleskan sisa ASI yang keluar ke puting yang luka. Memang tidak secara langsung akan sembuh, dan biasakan untuk menutup puting jika sudah kering.
Demikian pengalaman yang pernah saya alami semoga bisa menjadi pembelajaran dan tetap semangat menyusui buah hati . bagaimana dengan anda?ayo share disini....semoga tantangan tersebut bukan menjadi hambatan bagi ibu muda untuk tetap memberikan ASI  ekslusif.

Kamis, 17 Januari 2013

ORIFLAME BISNISKU

Kenapa aku milih oriflame bukan bisnis lain? karena bisnis ini bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja terserah kita yang menjalankan bahkan mau secara online atau offline pun bisa...selain itu kita juga didukung dengan tim support yang luar biasa....untuk jadi membernya pendaftaran cukup murah hanya Rp 39.900 saja..keuntungan yang kita peroleh  secara langsung yaitu dari penjualan produk belum lagi dapet bonus bulanan dari mulai puluhan ribu  sampai puluhan juta rupiah.
Oiya ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan oleh calon prospekku..yaitu halal ga ya bisnisnya?  jika kita pelajari dari sistemnya Oriflame jelas bukan bisnis Riba (Berbunga) semua keuntungan yang diberikan berasal dari penjualan nyata yang diberikan oleh produsen kepada konsumen.Oriflame juga memberikan keuntungan secara jelas kepada konsultan yang menjalankan bisnis oriflame yaitu dengan diskon langsung yang diperoleh dari direct selling (selisih harga katalog dengan harga konsultan) dan ini bukan bisnis money game.Setiap konsultan diberikan activity report yang berisi laporan tentang pembagian bonus yang jelas dan transparan.Jadi tidak ada yang namanya kezaliman karena eksploitasi upline terhadap downline.Disini siapa yang bekerja keras maka akan mendapat keuntungan yang paling banyak.Dalam sistem plan oriflame telah diatur bagaimana omzet suatu grup berpengaruh pada uplinenya.pada saat leader grup mencapai level tertentu maka putuslah pembagian bonus kepada uplinenya.sebagai jasa upline yang membangun grup tersebut maka diberikan keuntungan lain yang sudah ditentukan persennya. jadi bagi yang masih ragu untuk join bisa dipelajari penjelasan saya diatas.

Senin, 07 Januari 2013

Cerita untuk para suami


Tanpa sengaja membaca status teman di FB...ceritanya sangat mengharukan coba deh baca semoga bagi  laki-laki yang telah menjadi suami/Ayah bisa lebih mencintai istrinya setelah membaca cerita ini...ijin copas ya friend...

Sudah pukul 19.00 malam. Saatnya aku berangkat untuk mengejar pesawat ke jakarta pukul 20.30. Traveling-bag sudah disiapkannya sejak pagi.

“Pergilah,” katanya memandang mataku. “Ini belum waktunya. Kontraksinya bukan di fundus, tetapi di bagian bawah. Mungkin . Sakit biasa.”

Aku pun mengangguk berusaha yakin. Bagaimanapun ia seorang dokter. Dan, ia pun sudah aku bekali dengan alamat, no telp, dan ancar-ancar ke rumah bidan itu. Aku bahkan sudah meninggalkan pesan ke teman sekantor, jika sewaktu-waktu saat itu tiba, ia siap membantu.

Keningnya segera kucium setelah tanganku diciumnya mesra. Dan tas itu sudah kuangkat untuk kugelandang ke pintu depan. Tangannya menyuruhku pergi, tetapi kutahu matanya tidak. Ia bahkan tidak beranjak dari tempatnya karena sakit yang tak terperikan itu. Apakah ini sudah waktunya?Tanya batinku mencari kepastian. Bukankah perkiraannya masih 9-10 hari lagi?

Kulihat kini mata itu basah.

Sedetik kemudian aku putuskan, “Kayaknya lebih baik aku tak jadi pergi.” Begitulah kata-kataku meluncur dan tas kuletakkan kembali.

Ia terkesima. “Nggak papa, ta, Mas?” tanyanya, sembari mengusap sembab matanya. “Aku nggak papa, kok. Kalaupun nanti ke bidan sendiri, aku bisa.”

“Nggak. Aku bisa tunda acara di Jakarta besok.”

Ia memelukku dalam isak.

“Coba kita lihat sampai besok, ” bisikku. “Jika sakit itu mereda, aku bisa ke Jakarta petangnya.”

Ia mengangguk. Aku segera memapahnya berbaring.

Kukontak teman seperjalanan. Dan kukatakan padanya keadaanku. Ia bisa mengerti. Segera aku ke kantor yang hanya 5 menit dari rumah untuk menitipkan data agar diserahkan ke anggota timku di Jakarta.

Belum selesai mengcopy ini-itu, sebuah SMS masuk ke mailbox HP-ku. “Mas, jangan lama-lama, ya?” begitu isinya. Dari isteriku. Secepat kilat kuserahkan data yang belum lengkap itu ke teman seperjalananku. Aku segera balik ke rumah.

Ternyata benar. Tak menunggu menit berlalu, ia sudah mengeluarkan tanda-tanda itu. Kontraksi di bawah perut yang semakin menguat membuatnya nyaris tak kuat berdiri, bahkan beringsut. Sepercik cairan merah atau coklat, aku tak tahu pasti, semakin menambah keyakinan bahwa saatnya telah tiba. Maju dari perkiraan.

Kutelpon temanku yang mau meminjami mobil. Segera aku berbenah. Cepat. Tak ada waktu menunggu. Dua potong jarit, setumpuk popok, stagen, pakaian ganti luar dalam, softtex, minyak but-but, spirulina. Semua kumasukkan asal-asalan dalam tas kuning yang sudah disiapkannya jauh hari.

Mobil pinjaman teman segera datang. Dan ia pun kubawa pergi. Sementara aku mengatakan padanya untuk tenang dan terus bertahan, aku sendiri menyumpah-serapahi mobil-motor di depanku yang tak segera beranjak ketika lampu lalu-lintas sudah kuning berkelip-kelip menuju hijau. Sementara aku katakan padanya sebentar lagi sampai di tempat tujuan, aku sendiri tegang: penginnya ngebut karena tujuan masih jauh, tapi tak mungkin.

Ketika akhirnya sampai di tujuan, hujan turun gerimis dan dia sudah buka 10! Bu Is, bidan kami, segera beraksi. Suntikan, tabung oksigen, selimut, sarung tangan, botol-botol cairan. Lampu-lampu dinyalakan. Celemek dipakaikan. Sementara ia, yang telah menyiapkan tasku sejak pagi, meringis menahan sakit di atas pembaringan. Bu Is menyuntik seraya memegang-megang perut buncitnya. Asistennya menyiapkan ember.

Aku menggenggam tangannya. Aku memegang keningnya. Peluh bercucuran.

Dan kami semua menunggu detik-detik itu.

Tak berapa lama, ia mengejan. Bu Is memberi aba-aba. Aku menggenggam lebih erat tangannya. Ia mengambil napas panjang. Ia mengejan lagi. Suaranya seperti ingin menghentakkan sesuatu yang sangat berat. Wajahnya pias bertaburan keringat. Aku komat-kamit berdoa sambil mengusap titik-titik air yang terus mengalir di seluruh wajahnya.

Ia berhenti sejenak lagi, mengambil napas panjang lagi, dan mengejan lagi! Bu Is memberi aba-aba. Aku pucat. Kudengar kemudian suara seperti karet yang teregang begitu kuat, melewati batas maksimal regangannya. Seperti mau putus. Dan kulihat kepala itu. Perlahan, di sela riuh aba-aba Bu Is, ejanan dan erangan dirinya, dan suaraku sendiri yang menguatkannya untuk terus mendorong. Terus! Dorong! Kini kulihat perlahan leher, lalu punggung, tangan, dan akhirnya kaki keluar
cepat diikuti . byoorrr! Ketuban mengalir laksana air bah. Putih. Bening seperti air beras.

Ia terengah serupa habis mengangkat beban ribuan karung. Terkulai pucat-pasi. Lelah tiada tara. Kemudian terdengar oek-oek memecah malam. Hujan gerimis di luar terdengar jelas menusuki atap genting. “Laki-laki, Mas,” Bu Is memberi kabar seperti angin sejuk mengaliri padang gersang. Isteriku tersenyum, dan sepertinya semua yang dialaminya seketika hilang, tergantikan dengan kegembiraan yang tak tergambarkan. Aku tersenyum padanya. Laki-laki, bisikku padanya mengulang. Ia menggenggam erat tanganku.

“Aku capek sekali, ” katanya.

Tapi kutahu, sinar matanya menyiratkan suka-cita.

Alhamdulillah! Allahu Akbar! Laki-laki, sama denganku. 3,8 kg. Lahir per vaginam. 12 Pebruari 2006 jam 21.00 WIB.

Seketika nyawaku saat itu serasa menjadi rangkap!

***

Persalinan merupakan peristiwa besar penuh misteri. Peristiwa berdarah-darah.

Ia seperti sebuah garis batas yang mengkhawatirkan. Tak jarang mengerikan. Barang siapa melaluinya seperti halnya melewati batas antara hidup dan mati. Ia harus dilakoni bukan oleh seorang pria gagah-perkasa, melainkan seorang wanita dengan segala kelemahannya. Saking beratnya episode ini, Rasul menimbangnya sebagai sama dengan jihad di medan peperangan.

Pernahkah Anda mengalami keadaan ini. Isteri sudah berkontraksi penuh. Bidan lalu memecah ketuban untuk memperlancar persalinan. Tetapi ketika memeriksa, ia seperti berteriak histeris, “Bu, ini bukan kepala! Bayinya sungsang! Saya tidak berani. Tunggu, tahan dulu! Saya akan panggilkan
dokter!”

Ia lalu menelepon dokternya setengah berteriak-teriak seakan-akan seekor anjing galak sudah bersiap menggigit kakinya. Sementara Anda, seorang laki-laki perkasa yang hanya bisa bengong dan tak tahu harus berbuat apa melihat isteri Anda tersiksa begitu rupa. Di saat itulah Anda akan merasakan betapa bayang kematian terasa di depan mata dan Anda betapapun perkasanya seperti tiada berguna. Betapa kekhawatiran akan kehilangan seseorang, detik itu, menghantui diri Anda.

Saya pernah mengalaminya saat kelahiran anak saya kedua.

Ini kali keempat saya mendampingi isteri melewati garis batas itu. Tetapi, rasanya seperti mendampingi proses kelahiran anak yang pertama, kedua, dan ketiga. Selalu saja timbul pertanyaan itu: akankah masih bisa menjumpai senyumnya setelah episode ini?

Melihatnya meringis menahan sakit, menggenggam tangannya ketika mengejan, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia mengeluarkan buah hati kami, sungguh merupakan episode yang menggetarkan. Dan, sehabis itu, cinta ini seperti semakin tumbuh. Menjulang. Apakah memang cinta justru akan menemukan titik puncaknya ketika dihadapkan pada situasi antara hidup dan mati? Di saat kemungkinan hidup sama tipisnya dengan kemungkinan tidak menjumpainya lagi?

Karena sebab ini pulalah, saya berupaya untuk selalu mendampinginya pada peristiwa berdarah-darah itu. Melihatnya bergulat maut, membuat saya tidak akan pernah tega melukai hatinya. Apalagi memukulnya. Sungguh, apa yang saya sandang, apa yang saya kerjakan sejak keluar pagi dan
pulang petang untuk mereka yang di rumah, tidaklah sepadan dengan apa yang harus dialami wanita perkasa itu.

Wahai! Betapa benar sabda Rasul SAW bahwa sebaik-baik suami adalah yang terbaik akhlaknya kepada isterinya. Dengan membandingkan pengorbanan pada peristiwa persalinan ini saja, rasanya, Anda, para suami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan wanita yang anak-anak Anda memanggil padanya ibu.

Karenanya, mendampinginya bersalin adalah sebuah terapi jiwa, sekaligus episode pembaharuan cinta padanya. Jadi, jika rasanya cinta saya padanya sedikit terdegradasi, barangkali sudah waktunya bagi saya mendampinginya lagi untuk bersalin.

Sepertinya senda-gurau. Tetapi percayalah, ini serius. Dan satu hal yang selayaknya diingat adalah bahwa yang dibutuhkannya pada saat genting itu bukanlah ibu ataupun mertua Anda. Ia hanya membutuhkan genggaman tangan Anda. Jadi, sudahkah Anda melakukannya?

Sumber dari rumahkusekolahku.wordpress