Tanpa sengaja membaca status teman
di FB...ceritanya sangat mengharukan coba deh baca semoga bagi laki-laki yang telah menjadi suami/Ayah bisa
lebih mencintai istrinya setelah membaca cerita ini...ijin copas ya friend...
Sudah pukul 19.00 malam. Saatnya aku
berangkat untuk mengejar pesawat ke jakarta pukul 20.30. Traveling-bag sudah
disiapkannya sejak pagi.
“Pergilah,” katanya memandang mataku. “Ini belum
waktunya. Kontraksinya bukan di fundus, tetapi di bagian bawah. Mungkin . Sakit
biasa.”
Aku pun mengangguk berusaha yakin. Bagaimanapun ia
seorang dokter. Dan, ia pun sudah aku bekali dengan alamat, no telp, dan ancar-ancar ke rumah bidan itu. Aku bahkan sudah
meninggalkan pesan ke teman sekantor, jika sewaktu-waktu saat itu tiba, ia siap
membantu.
Keningnya segera kucium setelah tanganku diciumnya
mesra. Dan tas itu sudah kuangkat untuk kugelandang ke pintu depan. Tangannya
menyuruhku pergi, tetapi kutahu matanya tidak. Ia bahkan tidak beranjak dari
tempatnya karena sakit yang tak terperikan itu. Apakah ini sudah waktunya?Tanya
batinku mencari kepastian. Bukankah perkiraannya masih 9-10 hari lagi?
Kulihat kini mata itu basah.
Sedetik kemudian aku putuskan, “Kayaknya lebih baik
aku tak jadi pergi.” Begitulah kata-kataku meluncur dan tas kuletakkan kembali.
Ia terkesima. “Nggak papa, ta, Mas?” tanyanya,
sembari mengusap sembab matanya. “Aku nggak papa, kok. Kalaupun nanti ke bidan
sendiri, aku bisa.”
“Nggak. Aku bisa tunda acara di Jakarta besok.”
Ia memelukku dalam isak.
“Coba kita lihat sampai besok, ” bisikku. “Jika
sakit itu mereda, aku bisa ke Jakarta petangnya.”
Ia mengangguk. Aku segera memapahnya berbaring.
Kukontak teman seperjalanan. Dan kukatakan padanya
keadaanku. Ia bisa mengerti. Segera aku ke kantor yang hanya 5 menit dari rumah
untuk menitipkan data agar diserahkan ke anggota timku di Jakarta.
Belum selesai mengcopy ini-itu, sebuah SMS masuk ke
mailbox HP-ku. “Mas, jangan lama-lama, ya?” begitu isinya. Dari isteriku.
Secepat kilat kuserahkan data yang belum lengkap itu ke teman seperjalananku.
Aku segera balik ke rumah.
Ternyata benar. Tak menunggu menit berlalu, ia
sudah mengeluarkan tanda-tanda itu. Kontraksi di bawah perut yang semakin
menguat membuatnya nyaris tak kuat berdiri, bahkan beringsut. Sepercik cairan
merah atau coklat, aku tak tahu pasti, semakin menambah keyakinan bahwa saatnya
telah tiba. Maju dari perkiraan.
Kutelpon temanku yang mau meminjami mobil. Segera
aku berbenah. Cepat. Tak ada waktu menunggu. Dua potong jarit, setumpuk popok,
stagen, pakaian ganti luar dalam, softtex, minyak but-but, spirulina. Semua
kumasukkan asal-asalan dalam tas kuning yang sudah disiapkannya jauh hari.
Mobil pinjaman teman segera datang. Dan ia pun
kubawa pergi. Sementara aku mengatakan padanya untuk tenang dan terus bertahan,
aku sendiri menyumpah-serapahi mobil-motor di depanku yang tak segera beranjak
ketika lampu lalu-lintas sudah kuning berkelip-kelip menuju hijau. Sementara
aku katakan padanya sebentar lagi sampai di tempat tujuan, aku sendiri tegang:
penginnya ngebut karena tujuan masih jauh, tapi tak mungkin.
Ketika akhirnya sampai di tujuan, hujan turun
gerimis dan dia sudah buka 10! Bu Is, bidan kami, segera beraksi. Suntikan,
tabung oksigen, selimut, sarung tangan, botol-botol cairan. Lampu-lampu
dinyalakan. Celemek dipakaikan. Sementara ia, yang telah menyiapkan tasku sejak
pagi, meringis menahan sakit di atas pembaringan. Bu Is menyuntik seraya
memegang-megang perut buncitnya. Asistennya menyiapkan ember.
Aku menggenggam tangannya. Aku memegang keningnya.
Peluh bercucuran.
Dan kami semua menunggu detik-detik itu.
Tak berapa lama, ia mengejan. Bu Is memberi
aba-aba. Aku menggenggam lebih erat tangannya. Ia mengambil napas panjang. Ia
mengejan lagi. Suaranya seperti ingin menghentakkan sesuatu yang sangat berat.
Wajahnya pias bertaburan keringat. Aku komat-kamit berdoa sambil mengusap
titik-titik air yang terus mengalir di seluruh wajahnya.
Ia berhenti sejenak lagi, mengambil napas panjang
lagi, dan mengejan lagi! Bu Is memberi aba-aba. Aku pucat. Kudengar kemudian
suara seperti karet yang teregang begitu kuat, melewati batas maksimal
regangannya. Seperti mau putus. Dan kulihat kepala itu. Perlahan, di sela riuh
aba-aba Bu Is, ejanan dan erangan dirinya, dan suaraku sendiri yang menguatkannya
untuk terus mendorong. Terus! Dorong! Kini kulihat perlahan leher, lalu
punggung, tangan, dan akhirnya kaki keluar
cepat diikuti . byoorrr! Ketuban mengalir laksana
air bah. Putih. Bening seperti air beras.
Ia terengah serupa habis mengangkat beban ribuan
karung. Terkulai pucat-pasi. Lelah tiada tara. Kemudian terdengar oek-oek
memecah malam. Hujan gerimis di luar terdengar jelas menusuki atap genting.
“Laki-laki, Mas,” Bu Is memberi kabar seperti angin sejuk mengaliri padang
gersang. Isteriku tersenyum, dan sepertinya semua yang dialaminya seketika
hilang, tergantikan dengan kegembiraan yang tak tergambarkan. Aku tersenyum
padanya. Laki-laki, bisikku padanya mengulang. Ia menggenggam erat tanganku.
“Aku capek sekali, ” katanya.
Tapi kutahu, sinar matanya menyiratkan suka-cita.
Alhamdulillah! Allahu Akbar! Laki-laki, sama
denganku. 3,8 kg. Lahir per vaginam. 12 Pebruari 2006 jam 21.00 WIB.
Seketika nyawaku saat itu serasa menjadi rangkap!
***
Persalinan merupakan peristiwa besar penuh misteri.
Peristiwa berdarah-darah.
Ia seperti sebuah garis batas yang mengkhawatirkan.
Tak jarang mengerikan. Barang siapa melaluinya seperti halnya melewati batas
antara hidup dan mati. Ia harus dilakoni bukan oleh seorang pria gagah-perkasa,
melainkan seorang wanita dengan segala kelemahannya. Saking beratnya episode
ini, Rasul menimbangnya sebagai sama dengan jihad di medan peperangan.
Pernahkah Anda mengalami keadaan ini. Isteri sudah
berkontraksi penuh. Bidan lalu memecah ketuban untuk memperlancar persalinan.
Tetapi ketika memeriksa, ia seperti berteriak histeris, “Bu, ini bukan kepala!
Bayinya sungsang! Saya tidak berani. Tunggu, tahan dulu! Saya akan panggilkan
dokter!”
Ia lalu menelepon dokternya setengah
berteriak-teriak seakan-akan seekor anjing galak sudah bersiap menggigit
kakinya. Sementara Anda, seorang laki-laki perkasa yang hanya bisa bengong dan
tak tahu harus berbuat apa melihat isteri Anda tersiksa begitu rupa. Di saat
itulah Anda akan merasakan betapa bayang kematian terasa di depan mata dan Anda
betapapun perkasanya seperti tiada berguna. Betapa kekhawatiran akan kehilangan
seseorang, detik itu, menghantui diri Anda.
Saya pernah mengalaminya saat kelahiran anak saya
kedua.
Ini kali keempat saya mendampingi isteri melewati
garis batas itu. Tetapi, rasanya seperti mendampingi proses kelahiran anak yang
pertama, kedua, dan ketiga. Selalu saja timbul pertanyaan itu: akankah masih
bisa menjumpai senyumnya setelah episode ini?
Melihatnya meringis menahan sakit, menggenggam
tangannya ketika mengejan, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia
mengeluarkan buah hati kami, sungguh merupakan episode yang menggetarkan. Dan,
sehabis itu, cinta ini seperti semakin tumbuh. Menjulang. Apakah memang cinta
justru akan menemukan titik puncaknya ketika dihadapkan pada situasi antara
hidup dan mati? Di saat kemungkinan hidup sama tipisnya dengan kemungkinan
tidak menjumpainya lagi?
Karena sebab ini pulalah, saya berupaya untuk
selalu mendampinginya pada peristiwa berdarah-darah itu. Melihatnya bergulat
maut, membuat saya tidak akan pernah tega melukai hatinya. Apalagi memukulnya.
Sungguh, apa yang saya sandang, apa yang saya kerjakan sejak keluar pagi dan
pulang petang untuk mereka yang di rumah, tidaklah
sepadan dengan apa yang harus dialami wanita perkasa itu.
Wahai! Betapa benar sabda Rasul SAW bahwa
sebaik-baik suami adalah yang terbaik akhlaknya kepada isterinya. Dengan
membandingkan pengorbanan pada peristiwa persalinan ini saja, rasanya, Anda,
para suami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan wanita yang anak-anak Anda
memanggil padanya ibu.
Karenanya, mendampinginya bersalin adalah sebuah
terapi jiwa, sekaligus episode pembaharuan cinta padanya. Jadi, jika rasanya
cinta saya padanya sedikit terdegradasi, barangkali sudah waktunya bagi saya
mendampinginya lagi untuk bersalin.
Sepertinya senda-gurau. Tetapi percayalah, ini
serius. Dan satu hal yang selayaknya diingat adalah bahwa yang dibutuhkannya
pada saat genting itu bukanlah ibu ataupun mertua Anda. Ia hanya membutuhkan
genggaman tangan Anda. Jadi, sudahkah Anda melakukannya?
Sumber dari rumahkusekolahku.wordpress